Dengan Autoimun, Lebih Kenali Batasan Diri

Nama saya Indra Hermawan, umur 37 tahun, memang tepat apabila Autoimun dikatakan sebagai penyakit seribu wajah, karena butuh dokter yang tepat untuk dapat mendiagnosanya.  Saya butuh waktu 7 bulan, dengan konsultasi pada 1 dokter umum, 5 dokter spesialis penyakit dalam, 1 dokter bedah digestif, 1 dokter gigi spesialis penyakit mulut, dan 1 dokter spesialis penyakit dalam Konsultan Alergi dan Immunologi. Saya didiagnosa Sjogrens Syndrome oleh Prof.DR.dr.Dina Mahdi, SpPd, KAI pada tanggal 13 Februari 2017. Saya juga pengidap thalasemia β trait yang membuat HB saya sering rendah, saya juga pernah ditransfusi darah sewaktu balita karena HB yang terlalu rendah sampai muncul bercak-bercak merah di sekujur tubuh.  Saya baru mengetahui mengidap thalasemia ketika saya sudah berumur 30 th, pada saat konsultasi gejala anemia yang sering berulang. Stress yang luar biasa pada pekerjaan, menyebabkan pola makan dan minum yang tidak sehat, dan pola hidup yang tidak baik (kurang istirahat dan olahraga) hingga menimbulkan masalah perut.  Sering diare, nyeri perut yang luar biasa, demam naik turun, badan lemas, pucat, sering keluar keringat sewaktu tidur secara berlebihan, bahkan menyebabkan bantal saya lepek karena keringat padahal suhu kamar yang rendah.

Pada awal sakit sekitar bulan Februari – Maret 2016 saya konsultasi ke dokter umum Frans Hokardi di RS. Gading Pluit yang berhasil mendiagnosa thalasemia saya, hasil diagnosanya gejala tipus saya kambuh (dulu pernah kena gejala tipus) saya dikasih antibiotik, obat lambung, dan vitamin C, saya disuruh istirahat selama 1 minggu.  Setelah 1 minggu demam reda, diare berkurang, namun perut masih sakit dan intensitas BAB masih belum normal. Saya tidak kembali ke dokter karena saya pikir masih dalam masa penyembuhan. Sebulan berlalu namun nyeri di perut tidak berkurang dan saya setiap BAB merasakan nyeri yang luar biasa dan susah namun dengan intensitas yang sering, saya bisa BAB 2-3 kali setiap hari.  Ditambah lagi setiap BAB disertai lendir, hal ini membuat saya stress.  Karena sudah tidak tahan dengan kondisi tersebut saya mulai browsing mencari kenapa kondisi saya begitu, apa penyebabnya, dan bagaimana cara menyembuhkannya? ketika itu saya mengambil kesimpulan mungkin saya kena infeksi cacing, karena saya kadang kadang makan ditempat yang kurang menjaga kebersihan.  Lalu saya minumlah Combantrin.  Hari pertama sampai ke empat tidak ada reaksi, pada hari ke lima perut saya melilit sekali, ketika saya BAB keluar lendir yang sangat panjang, namun setelah itu perut saya terasa ringan dan sakitnya berkurang.  2 Minggu berlalu perut kembali nyeri, saya kembali meminum obat cacing, kali ini saya minum Vermox.  1 minggu berlalu tidak ada perubahan, lalu saya menemui Dr. Aries Bunyamin SpPd di RS Gading Pluit.  Melalui USG beliau menyatakan semua organ organ internal bagus.  Beliau membuat surat pengantar untuk pengecekan Hematologi lengkap, Kimia, Imuno Serologi, CA,CEA, sampai gambaran Darah Tepi.  Ditambah X Ray Paru paru, karena napas saya ritmenya tidak bagus.  Hasil pemeriksaan darah dan X ray bagus, hanya terlihat anemia (karena Thalasemia).  Beliau menyarankan endoskopi & kolonoskopi, apabila belum ketemu harus MRI dan CT Scan baru beliau dapat memberikan obat-obatan. beliau tidak mau berspekulasi.

Berhubung dana untuk melalukan semua itu tidak ada saya putuskan untuk mencari second opinion.  Kebetulan saudara punya masalah usus buntu yang hampir saja dioperasi jika tidak ganti dokter, dan setelah ganti dokter dia sembuh, tanpa ada masalah lagi.  Dengan pertimbangan biaya, saya ke dokter tersebut, tempatnya di sebuah klinik kecil di kemayoran, ketika ngobrol dengan pasien2 yang lain saya semakin yakin dokter ini tepat buat saya, karena banyak yang sembuh.  Saya didiagnosa radang usus dan lambung, saya diberikan obat lambung dan usus untuk 1 minggu.  1 minggu saya control, perut saya masih nyeri, beliau mengatakan mungkin bakterinya bandel, diberikan kembali obat usus dan lambung, kali ini lebih banyak obat lambungnya untuk 2 minggu, mungkin karena perut saya sering bunyi dan sakitnya pindah2.  Kali ini obat–obatan yang diberikan nampaknya cocok dengan saya, karena badan saya lebih enak, perut masih sakit tetapi jauh lebih baik.  Merasa sudah sehat saya putuskan untuk mengantar istri ke Solo, karena ada temannya yang nikah di sana menggunakan kendaraan pribadi. Selama perjalanan saya tidak merasa lelah, namun tenggorokan mulai terasa aneh, rasanya kering (seperti habis minum air yang sangat panas) saya pikir ini karena cuaca jalur pantura Jawa yang sangat panas.  Jadi saya sering minum.

Sekembalinya dari Solo badan saya kembali seperti awal saya sakit, ditambah mulut yang terasa kering dan terbakar, mata juga terasa gatal.  Saat itu saya sudah berpikir apakah saya kena penyakit Imunitas (autoimun/HIV)? Karena ketika saya browsing penyakit tersebut selalu muncul.  Alhamdulillah asuransi dari kantor istri sudah keluar, jadi bisa mencakup endoskopi dan biaya berobat jalan.  Saya putuskan untuk kembali ke RS Gading Pluit untuk endoskopi dan kolonoskopi, ternyata Dr.Aries sedang cuti Natal dan tahun baru. Lalu saya putuskan untuk mencari dokter gigi spesialis penyakit mulut, dengan harapan masalah di mulut dapat diatasi, jika ada masalah imunitas biasanya terlihat di dalam rongga mulut.  Browsing beberapa rumah sakit, banyak dokter yang sedang cuti, untungnya ada di RS Colombia Asia, yaitu Drg.Dian Anggraeni, SpPM.  Setelah diperiksa beliau menyatakan mulut saya banyak lesi (jamur) yang harus dikerok secara rutin setiap hari, untuk penyakit imunitas atau Gerd biasanya mulut timbul banyak sariawan.  lalu beliau menscaling gigi saya, dan meresepkan multi vitamin, serta menyuruh saya berkumur dengan air hangat dicampur garam setiap hari selama 1 minggu.  Setelah seminggu pengobatan mulut terasa lebih baik, namun rasa kering masih ada.

Bingung mau kemana lagi untuk medapatkan jawaban masalah perut, saya pergi ke dokter di Mitra Keluarga Bekasi, dengan harapan bisa langsung endoskopi, ternyata Dr. Sugijarto, Sp.PD tidak mau, karena harus observasi dan pengobatan dulu. Saya sempat mengungkapkan apakah saya kena penyakit imunitas ke dokter tersebut, dan dokter tersebut selain meresepkan obat lambung, multivitamin, juga meresepkan salah satu obat immunosuppressant untuk SLE (saya lupa nama obatnya). Pada saat akan ke RS Mitra Keluarga Bekasi saya mengalami kecelakaan yang disebabkan karena tidak sinkronnya badan saya dengan otak, yang seharusnya menginjak rem, saya malah menginjak gas (saya benar2 blank) untung hanya luka ringan dan sedikit kerusakan material. 3 hari setelah pengobatan saya merasa tidak ada perubahan, saya semakin stress, karena masalah bertambah dengan sering tiba2 ngeblank. Saya putuskan kembali ke dokter Klinik di Kemayoran, karena sempat berhasil mengurangi nyeri perut, dengan harapan beliau mau memberikan surat pengantar endoskopi.  Saat itu saya bertekad harus bisa mengetahui dengan jelas ada apa dengan diri saya? Oleh dokter tersebut saya dimarahi karena meminum obat yang kontradiksi, yang sebagian menambah imun tapi yang satu mengurangi imun.  Lalu saya diresepkan kembali obat2 lambung, tanpa membuatkan pengantar endoskopi, katanya toh nanti obatnya juga sama. Tapi saya butuh kepastian, saat itu saya berpikir, jika begini terus seperti menembak di tempat gelap, bisa kena sasaran bisa juga salah sasaran, dan konyolnya lagi bisa juga menembak diri sendiri. Lah saya harus minum obat yang bejibun.

Saya coba konsultasi ke atasan saya yang kebetulan suaminya pernah punya masalah pencernaan dan juga pernah diendoskopi-kolonoskopi. Beliau menyarankan ke Dokter spesialis bedah digestif dr. Teddy Arifin P, SpBD di RS.Mitra Kelapa Gading, katanya dokternya sangat teliti dan nanti oleh dokter tersebut akan dibuatkan surat pengantar apabila perlu tidakan. Awal ketemu saya sedikit memaksa untuk dapat diendoskopi, namun sesuai prosedur harus di observasi terlebih dahulu dan diberikan obat baru tindakan.  Saya diresepkan obat lambung dan multivitamin, saya juga diminta untuk berolah raga 30 menit sehari, atau minimal seminggu 2 kali. Saat itu saya geleng2 kepala, karena punya banyak multivitamin. Tapi karena saya ingin sehat, saya jalankan semua perintah dokter tersebut. 2 minggu berlalu, saya kembali dengan kondisi tidak berubah, akhirnya dokter memberikan surat pengantar untuk endoskopi dengan saya harus konsultasi lagi dengan Dr.Felix Sp.Pd, nanti beliau yang akan melakukan proses endoskopi.  Karena endoskopi dan kolonoskopi harus kuras perut, saya putuskan untuk rawat inap 1 hari. Hasilnya adalah radang lambung kronis dan radang usus ringan, dengan konsentrasi asam lambung yang cukup tinggi.  Diberikan Lancid untuk 2 minggu dan Mucosta untuk 4 minggu, dan saya tidak perlu control kecuali masih sakit.   Dirawat dirumah sakit 1 hari, mulut semakin tidak enak, kering tapi lengket.

Seharusnya saya puas dengan hasil diagnosa terakhir, karena sudah jelas masalahnya, tetapi entah mengapa saya merasa masih ada masalah lain dalam tubuh saya.  Saya juga sempat ke Dokter Spesialis kulit di RS Mitra Keluarga Bekasi, karena muncul ruam2 merah di sekujur tubuh.  Kuku saya juga rusak dan kasar. Saya juga sempat ke RS ST.Carolous untuk konsultasi dan tes HIV, setelah konsultasi dengan istri saya dulu. Saya harus tau secara jelas, karena bisa saja kita secara tidak sengaja tertular HIV, seperti dari penanganan gigi. Namun di RS ST.Carolous saya ditolak karena saya tidak memiliki profile pengidap HIV.  Jika mau tes bisa langsung ke laboratorium, saya tidak mau karena pendaftaran labnya terbuka, banyak yang mengantri, takut salah tanggap bisa makin stress, dan jika mau konsultasi keluhan harus ke dokter spesialis dulu, saya tidak mau, karena harus atur jadwal bertemu dengan dokternya.

Saya semakin gampang marah, gampang sedih, pokoknya mood swing. Masalah kecil bisa membuat saya marah marah, mobil penyok2 karena saya kadang2 tidak konsentrasi atau bahkan ngeblank.  Alhamdulillah tidak sampai melukai orang lain. Istri saya cerita ke rekan2 di kantornya, dan salah satu teman kantor istri saya menyarankan saya ke Prof.Dr.Heru Sundaru, SpPd, KAI di RS Medistra, karena kengototan saya dengan masalah imunitas. Memang bukan jodoh saya ketika menghubungi RS Medistra untuk daftar, Prof.Heru sedang cuti, yang ada jadwal prakteknya pada minggu itu adalah Prof.Dina. Karena saya sudah tidak sabar ingin mengetahui kejelasan masalah imunitas saya, saya putuskan untuk mendaftar.

Kepada Prof.Dina, saya jabarkan semua keluhan saya, begitu juga dengan kegelisahan saya terhadap HIV.  Setelah diperiksa, beliau mengatakan kemungkinan mengidap autoimun, untuk HIV kemungkinan tidak, tetapi nanti hasil tes darah akan mengungkapkan semua. 1 minggu hasil tes vitamin D dan tes ana IF saya keluar, untuk tes HIV harus 1 bulan, supaya hasilnya 100% tepat.  Tes Ana IF saya di titer 1:320 ada 2, dengan Ana Profile Ro Recombinant 52 (++) dan JO (+), Vit D saya 10,8. Prof.Dina menyatakan saya mengidap Sjogrens Syndrome, alergi telor-debu-seafood, hidung saya sebelah kanan juga ada penyempitan (dari hasil X Ray hidung, padahal dari tulisan yang ada di hasil X-Ray hasilnya normal tidak ada masalah).  Jadi saya diresepkan Medixon 16 mg 2 x 1, vit D3 1000 2 x 1, Cendohyalub minidose untuk mata, Folic Acid, elkana, Afrin, Nasonex, obat alergi minum, obat lambung, salep untuk ruam racikan, kenalog, dan saya juga disuntik alergi. Saya dilarang memakan buah yang mengandung getah seperti durian dan nangka, semua makanan penyebab alergi. Saya disuruh control seminggu sekali selama 1 bulan.  Setiap bertemu, prof.Dina senang dengan perkembangan saya, begitu juga saya karena saya tau masalah tubuh saya.  Yang membuat saya tidak senang adalah biaya yang harus dikeluarkan, karena setiap kunjungan pasti keluar biaya sekitar 2 jt rupiah, sampai limit asuransi saya habis, dan harus meminjam dari sana sini untuk biaya pengobatan.  Tetapi pengorbanan yang menghasilkan.

Setelah 1 bulan hasil tes HIV saya keluar, seperti dugaan Prof.Dina hasilnya negatif.  Lalu saya diminta untuk konsultasi setiap 2 minggu sekali karena kondisi saya sudah lebih baik.  Saya lupa sudah berapa kali konsultasi ke Prof.Dina, karena setiap konsultasi kami selalu ngobrol macam macam, setiap bertemu minimal 30 menit–1 jam. Beliau sempat mengungkapkan bahwa mengobati pasien AI bukan hanya dengan mengatasi perkeluhan, tetapi harus bisa mendalami psikologi pasien, supaya tidak muncul masalah baru, jadi peranan dokter AI itu harus memantain supaya kondisi pasien tetap prima dan tidak semakin memburuk.

Saya juga ke Dr. Rifna Lutfiamida, SpM di klinik mata Nusantara Kemayoran, karena saya khawatir dengan efek yang ditimbulkan oleh obat2an AI.  Walaupun kata Prof.Dina, mata saya sehat. Alhamdulillah shimmer test saya 10, tes luas pandang saya bagus, dan tidak ada masalah di retina saya, persis seperti dugaan Prof.Dina, hanya saja Dr.Rifna menyarankan agar Prof.Dina mengganti obat steroid dengan non steroid, karena dapat merusak mata.

Jadwal praktek Prof.Dina pada hari kerja menyulitkan saya beraktivitas di kantor, saya sempat ingin konsultasi dengan beliau pada hari libur (Sabtu/Minggu), namun karena kesibukan beliau sebagai istri perwira TNI, dan pengurus parpol membuat susah bertemu. Dan prof Dina juga berpesan jika ada pasiennya ganti dokter diharapkan semua data perawatan oleh dokter sebelumnya dibawa dan diberikan kepada dokter baru, supaya ada kontinunitas pengobatan, jadi tidak saling menyalahkan. Setelah berkonsultasi dengan istri, saya memutuskan untuk pindah ke Prof. Heru, karena beliau prakteknya pada hari Sabtu di RS. Medistra.

Awal bertemu bertemu Prof.Heru saya dapat urutan no.15.  Saya tidak menyerahkan hasil lab sebelumnya karena merasa semua data Prof.Dina sudah lengkap, kecuali hasil pemeriksaan mata. Mungkin karena beliau sedang banyak pasien, beliau tidak melihat hasil pemeriksaan sebelumnya, bahkan hasil pemeriksaan mata saya juga tidak dilihat.  Beliau hanya bertanya apa keluhan saya, saya sampaikan tidak ada keluhan, karena memang kondisi sudah membaik. Sudah tidak nyeri perut, BAB sudah kembali normal yakni sehari sekali, pilek dan bersin di pagi hari hilang, sudah tidak demam dan keringatan pada malam hari bahkan lebih sering kedinginan, mata tidak gatal lagi, hanya mulut masih berasa kering, tetapi sudah lebih baik. Lalu beliau memeriksa saya, dan menanyakan obat2an apa saja yang sudah dikonsumsi, saya berikan obat2an yang terakhir saya konsumsi. Karena saya tidak tahu kalo saya dalam proses tapering steroid oleh Prof.Dina, dan Prof.Heru juga tidak melihat data obat2an yang Prof. Dina tulis di data pasien, saya disuruh berhenti konsumsi Medixon 4 mg yang diminum setiap senin dan Kamis 1 x 1. Dan saya diminta kembali 2 minggu lagi. Senin saya stop minum medixon, pada hari Kamis timbul merah di ketiak dan selangkangan yang gatal luar biasa, badan juga terasa tidak enak nyeri semua, karena merasa ada yang salah saya majukan jadwal konsul Prof.Heru jadi 1 minggu. Lalu beliau memeriksa, dan diagnosa beliau karena jamur, dan steroid seharusnya tidak boleh berhenti mendadak. Saya kaget, karena yang menyuruh berhenti beliau, saya mengatakan mungkin dosis yang diberikan Prof.Dina sebelumnya lebih tinggi dari yang terakhir, karena saya juga disuntik dengan obat racikan yang beliau bawa dari sendiri.  Prof.Heru membuat jadwal tapering medixon, tetapi beliau lupa menuliskan di resepnya medixon, padahal saya sudah saya sampaikan sisa medixon yang saya punya, dari apotik balik lagi ke Prof.Heru untuk resep medixon.

Obat kulit yang diberikan Prof.Heru hanya meredakan merah dikulit saya, begitu obatnya habis kulit saya kembali merah dan gatal, saya memutuskan ke dokter Spesialis kulit di Mitra Kelapa Gading, dengan sebelumnya menyampaikan sebagai pengidap SS.  Alhamdulillah 2 kali konsultasi merah dan gatalnya hilang.  Saya selalu menyampaikan ke Prof.Heru jika mengunjungi Dokter lain, dengan penjelasan bahwa penyakitnya sangat mengganggu.

Saya mengerti Prof.Heru luar biasa sibuk dan memiliki jumlah pasien yang banyak, tinggal kita sebagai pasien harus bisa menjelaskan masalah kita kepada beliau, harus punya catatan obat yang diminum, dan periksa lagi resep yang diberikan oleh Prof.Heru, karena mungkin ada obat yang akan diberikan terlupa diresepkan.  Saya sudah bosan untuk mencari dokter lagi, jadi saya harus bisa menyesuaikan diri apabila akan berkonsultasi dengan Prof.Heru, supaya keluhan saya teratasi dan Prof.Heru juga tepat mengobati / minimal mengurangi keluhan saya.

Pesan saya :

  1. Kenali signal2 yang dikirimkan oleh tubuh kita, supaya penyakit kita bisa cepat tertangani, dan tidak menjadi lebih buruk. Alhamdulillah kengototan saya untuk mencari sumber penyakit, (walaupun membuat saya jadi belanja dokter dengan biaya yang luar biasa) membuat saya bisa mengatasi AI sedini mungkin.
  2. Carilah Dokter yang membuat kita nyaman, jika kita tidak menemukan, tentukan seorang Dokter yang membuat kita sedikit nyaman, dan cobalah merubah mindset supaya nyaman dengan dokter tersebut, seperti pengalaman saya dengan Prof.Heru, saya selalu berusaha untuk mendapatkan urutan nomor kecil, supaya lebih focus dan dapat lebih lama berkonsultasinya, tidak terburu buru,
  3. Jangan sungkan untuk berobat ke dokter lain apabila dalam kondisi darurat dan tidak dapat bertemu dengan dokter AI/belum jadwal kontrol, tentu saja sebelumnya pastikan dokter tersebut mengetahui AI, atau paling tidak mengetahui obat2an yang diberikan oleh dokter apakah cocok atau malah akan membuat masalah baru, jangan lupa memberitahukan dengan dokter AI mengenai hal itu.
  4. Carilah orang orang yang memiliki penyakit yang sama dengan kita, ikutlah grup, seperti SSI,supaya kita bisa saling bertukar pikiran dan saling membantu, berdasarkan pengalaman saya, sangat jauh membantu mengatasi keluhan,
  5. Atur keuangan kita, supaya tidak menambah masalah, karena berobat AI bisa menguras kantong anda dan pasti menimbulkan stress, stress dapat memicu flare pada AI,
  6. Rajin2lah berolahraga, karena olah raya dapat meningkatkan stamina, namun jangan lupa batasan tubuh kita, jika berolahraga melebihi batas bisa menimbulkan masalah baru,Prof.Heru menyarankan olahraga melalui treadmill, lari atau berenang, minimal 30 menit setiap hari.
  7. Buat catatan tentang hal2 yang akan kita tanyakan ke dokter AI, karena AI bisa membuat pikun (brain fog),
  8. Jika sedang mengemudikan kendaraan, dan tanpa sengaja emosi kita tersulut, usahakan atur nafas, berhentilah di tempat aman sampai emosi kita terkontrol barulah kita melanjutkan perjalanan, jika tidak menemukan tempat berhenti berjalan secara perlahan sambil mengingat Tuhan kita (dalam Islam, Istighfar dan berzikir). Berdasarkan pengalaman saya melanjutkan perjalanan dengan emosi bisa menyebabkan kecelakaan,
  9. Atur pola makan dengan makanan sehat, pola istirahat yang cukup, dan jangan lupa rajin2lah berwisata supaya bisa merefresh diri kita.
  10. Usahakan untuk membuat skala prioritas penyakit yang harus diatasi terlebih dahulu, jangan sampai salah, dan selalu konsultasikan dengan dokter AI kita, seperti pengalaman istrinya teman saya meninggal karena GBS, karena dia memberhentikan pengobatan GBS nya supaya bisa menyembuhkan penyakit Miomnya.

 Indra Hermawan

Anggota Yayasan Sjogren’s Syndrome Indonesia

Comments

comments

About Author

Leave A Reply