Jangan Kalah Dan Manja Karena Sjogren’s Syndrome

Nama saya Lydia Wan. Pada akhir tahun 2003 saya mengalami masa stres yg luar biasa. Nah di masa-masa itu lah mulai terasa gejala2 autoimun saya seperti rasa capek yg luar biasa dan rasa pegal-pegal/sakit-sakit di seluruh tubuh yg semakin hari, semakin menjadi-jadi dan sakit kepala yg semakin hebat ( sebelum-sebelumnya saya memang sering sakit kepala tapi tidak separah saat itu, sering pusing mual dan muntah-muntah karena sakit kepala) Tapi tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa gejala-gejala itu ada hubungannya dengan sakit autoimun. Itulah masa-masa saya semakin “akrab” dengan painkiller, yg tanpa saya sadari, semakin memperparah autoimun saya. Ya, betapa mirisnya, berawal dari rasa sedih dan rasa kecewa, saya akhirnya “mengundang” sendiri penyakit yang tidak bisa disembuhkan sampai seumur hidup saya.

Kesehatan saya semakin hari semakin memburuk, saya bahkan bisa dibilang sudah lupa bagaimana rasanya punya badan yg fit, segar, sehat. Setelah kelahiran anak saya yg pertama thn 2006, saya sering mengalami bengkak di kaki dan tangan, kram, kesemutan, terkadang baal/mati rasa separuh badan, banyak bercak-bercak di kulit, juga lebam-lebam di kaki, mata sering sakit, wajah membengkak , jari-jari sulit digerakkan, berat badan meningkat, lambung yg sensitif, IBS. Setelah kelahiran anak yg kedua thn 2008, sakit-sakit di tulang/sendi sering tak tertahankan sampai sering kesulitan berjalan, kadang terpincang-pincang, kadang “ngesot” atau merayap karena saya tidak bisa menahan sakit di kaki saat kaki menjejak di lantai. saya juga sering sekali pusing-pusing, mimisan, pingsan, sering jatuh di tangga. Beberapa kali bahkan muka saya terbentur keramik sehingga gigi depan saya patah-patah, dokter gigi yg merawat saya heran dengan kondisi gigi saya yang gampang patah. Tapi sekali lagi saya tidak berpikiran macam-macam, dan tidak berobat karena saya berpikir itu hanya karena saya kelelahan mengurus kedua anak saya dan perkerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya (saya tidak punya ART). Bahkan pernah terjadi saya tidak bisa kencing berhari-hari, badan, wajah, tangan, kaki bengkak lalu demam dengan suhu yg tinggi sekali tapi juga mengigil sehingga saya dirawat di RS. Seinget saya waktu itu hanya dibilang saya kalium-nya sangat rendah.

Sejak itu petualangan dari dokter ke dokter pun dimulai jreng jreng….Sampai ke dokter saluran kencing di RS siloam yg akhirnya mencurigai saya punya autoimun dan lalu meminta saya mengecek ANA IF saya yg hasilnya positif, lalu beliau merujuk saya ke prof. Harry Isbagyo di RSCM yang akhirnya mendiagnosa saya dgn SS. Karena praktik beliau yg jauh dari rumah, pun ramai pasien dan antrian yg panjang/lama adalah kendala buat saya yg membawa serta kedua anak saya kemana-mana, akhirnya saya tidak mengontrol sakit autoimun saya dari waktu ke waktu. Beberapa tahun yang lalu saya mendapat info tentang rheumatologist yang praktik di sebuah klinik di daerah tempat tinggal saya, saya pun berpindah berobat ke beliau walaupun tidak rutin, hanya pada saat-saat flare yg parah, yg unbearable, saya minta diresepkan obat, tapi tidak permanen. obatnya dihentikan saat saya merasa sakitnya sudah bearable.

Cara saya mungkin memang aneh, tapi ini pilihan saya. Karena saya tidak mau hidup dgn NSAID dan immunosupresant setiap hari. Saya tidak mau bolak-balik kontrol, bolak-balik periksa lab, saya tidak mau hidup seperti seorang pasien. Jujur rasa sakit itu menempel di tubuh saya, tapi tidak saya manjakan. Bagi saya, saat sakitnya masah bisa saya tahan = saya “sehat”; dan saat tidak tertahankan = saya “sakit”. Saat “sakit” itulah saya mau tidak mau harus minum obat-obatan kimia. saya memilih Istirahat dan cara sederhana. Ini cara yang saya gunakan utk “menolong” diri saya selama bertahun-tahun ini karena saya merasa saya berjuang sendiri di tengah-tengah ketidakpercayaan orang-orang akan rasa sakit saya yang invisible ini, sakit yang nyata saya rasakan tapi tidak nyata di mata orang lain. Ya saya harus berjuang untuk bertahan, karena saya tidak bisa mengandalkan bolak-balik kontrol ke dokter, saya pun harus mendampingi ketiga anak saya sehari-harinya, banyak pekerjaan yg harus saya lakukan, jadi tidak ada waktu unutk cengeng dan kalah dengan autoimun.

Beruntung sekali, tahun 2017 lalu sampai sekarang, Tuhan ijinkan saya utk bertemu sahabat Sjogren’s Syndrome, melalui info-info yg saya dapat dari mereka, perjuangan saya terasa ringan. Terlebih karena saya tau, saya tidak sendiri. Sebagai seorang Nasrani, saya teringat dengan salah satu ayat di alkitab : “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” (Ams 17:22). Jadi kita harus terus bersemangat dalam menjalani hidup sebagai survivor autoimun. Jangan Kalah dengan Autoimun!

              Lydia Wan

Sjogren’s Syndrome Survivor

Comments

comments

About Author

Leave A Reply